Kumpulan Kata Mutiara Kitab Al Hikam Ibnu Athailah Bagian 19: Sabar Pada Allah


Kumpulan Kata Mutiara Kitab Al Hikam Ibnu Athailah Bagian 19: Sabar Pada Allah

Dalam kumpulan kata mutiara Kitab Al Hikam karya Ibnu Athalilah bagian sembilan belas, tertulis 'Jangan meminta Allah untuk memindahkanmu dari satu kedudukan (hal) ke kedudukan lain. Jika Allah menghendaki, Dia akan memindahkanmu tanpa mengubah keadaanmu yang terdahulu.'. Kata mutiara ini mengisyaratkan seorang salik, pencari Allah, tidak berhak berharap kepada selain-Nya; termasuk di dalam ini, tidak berhak berharap Allah memberikan hadiah perubahan kedudukan, karena itu hak mutlak-Nya; bukan hak pencari-Nya.

SABAR MENANTI KEPUTUSAN ALLAH
Jangan meminta Allah untuk memindahkanmu dari satu kedudukan (hal) ke kedudukan lain. Jika Allah menghendaki, Dia akan memindahkanmu tanpa mengubah keadaanmu yang terdahulu.

Kata mutiara ini sebenarnya merupakan istilah teknis untuk seorang sufi. Hal (kedudukan) adalah pengalaman spiritual yang berubah dan dialami secara tiba-tiba, tanpa ikhtiar manusia. Hal adalah anugerah dari Allah sebagai imbalan atas keberanian orang ini dalam mengenal Allah. Sifat hal sementara.
Seseorang dapat mengubah hal ini menjadi permanen, ketika ia menyadari rahasia Allah dan melanjutkan pencariannya dengan amalan-amalan mulia. Ketika itulah hal berubah menjadi maqam, kedudukan tetap. Yang perlu ditekankan, meskipun kita berusaha dalam mendapatkan maqam, tetap saja usaha tersebut berasal dari anugerah Allah.

Nah, mengapa kita harus membahas pentingnya tidak memohon kepada Allah untuk memindahkan kita dari sebuah hal kepada hal lain? Bukankah perpindahan hal ini menandakan bertambahnya tahapan spiritual seseorang? Jawabannya, adalah sifat manusia yang cepat malas, cepat puas, sekaligus mudah terburu-buru.
Seseorang yang telah mendapatkan sesuatu, kadang merasa berhak untuk mendapatkan hal lain yang lebih baik.

Semisal, orang yang sudah berhasil membeli rumah, pasti ingin mendapatkan mobil. Orang yang sudah mendapatkan jabatan A, pasti ingin memperoleh jabatan lain yang lebih mentereng di mata orang lain. Orang yang sudah mendapatkan keuntungan dari ibadahnya, pastinya ingin memperoleh keuntungan lain yang lebih mulia. Namun, apakah keinginan ini, terutama keinginan yang berkaitan dengan keadaan spiritual seseorang, benar adanya? Maksudnya, samakah keinginan kita dengan kemampuan? Jangan-jangan kita hanya asal berkeinginan, tapi tak pernah berbuat apa pun dalam mewujudkan keinginan tadi.

Hal ini juga berlaku bagi para pencari Allah. Ketika ia mendapatkan kedudukan tertentu, mampu melihat Allah dari sudut pandang yang lebih baik dari kebanyakan orang lain, ia mengira bahwa ia berhak naik tingkatan. Padahal, belum tentu demikian. Siapa tahu, ketika ia melihat Allah tersebut, sebenarnya ia banyak mengalami kekurangan. Hanya anugerah Allah semata yang membuatnya beruntung.


Maka, daripada merengek meminta ini dan itu, yang merupakan perbuatan yang tidak patut dari seorang pencari Allah, semestinya kita terlebih dahulu membenahi perilaku. Percayalah, seorang hamba hanya bisa bertemu dengan Allah, mendekati-Nya, jika Allah berkehendak. Andai Allah tidak berkenan, hendak melakukan apa pun, hijab yang menyelubungi-Nya ---yang berasal dari kelemahan kita sendiri--- tak akan terbuka. Allah tidak mungkin tidak berkenan jika kita sudah layak menemui-Nya.

Jadi, yang mesti dilakukan adalah melihat kembali amal perbuatan sebelumnya. Sudah benarkah amal tersebut? Sudah sesuaikah dengan syariat Allah? Ataukah sangat salah, tapi kita tidak mau menyadari kesalahan tersebut? Andai perbuatan kita benar, tingkah laku dan gerak hati selaras dengan ucapan bibir, niscaya pintu makrifat kepada Allah akan terbuka sendiri tanpa perlu kita meminta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumpulan Kata Mutiara Terbaik Jalaludin Rumi (Masnawi I) Mukadimah

Jenis-Jenis Istighfar: Adab Beristighfar dalam Kisah Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Amalan Doa Sehari-Hari: Zikir Malam Hari (Sebelum Tidur)