Kumpulan Kata Mutiara Kitab Al Hikam Ibnu Athailah Bagian 16: Dekatnya Allah Pada Makhluk
Dalam kumpulan kata mutiara Kitab Al Hikam karya Ibnu Athalilah bagian enam belas, tertulis 'Bagaimana mungkin Allah dapat ditutupi sesuatu padahal Dia lebih dekat kepadamu daripada apa pun?'. Kata mutiara ini mengisyaratkan sejatinya Allah sangat dekat kepada kita. Namun, kelemahan manusia yang ada di alam dunia inilah yang tidak mampu menjangkau kehadiran-Nya, sehinga kita kadang merasa sangat jauh dari Allah.
KEDEKATAN ALLAH DENGAN MAKHLUK
Bagaimana mungkin Allah dapat dihijab (ditutupi) oleh sesuatu padahal Dialah yang menzahirkan (menyingkap) segala sesuatu?
Bagaimana mungkin Allah dapat dihijab (ditutupi) oleh sesuatu padahal Dialah yang menzahirkan (menyingkap) segala sesuatu?
Bagaimana mungkin Allah dapat dihijab sesuatu padahal Dia tampak pada segala sesuatu?
Bagaimana mungkin Allah dapat dihijab sesuatu padahal Dialah yang terlihat dalam segala sesuatu?
Bagaimana mungkin Allah dapat ditutupi sesuatu padahal Dialah yang tampak pada tiap sesuatu?
Bagaimana mungkin Allah dapat ditutupi padahal Dia Nyata sebelum nyatanya segala sesuatu?
Bagaimana mungkin Allah dapat ditutupi sesuatu padalah Dia lebih nyata daripada segala sesuatu?
Bagaimana mungkin Allah dapat ditutupi sesuatu padahal Dialah Yang Esa, yang di samping-Nya tidak ada sesuatu pun?
Bagaimana mungkin Allah dapat ditutupi sesuatu padahal Dia lebih dekat kepadamu daripada apa pun?
Bagaimana mungkin Allah dapat dihijab sesuatu, padahal seandainya Dia tidak ada, tak akan ada pula segala sesuatu?
Sebuah keajaiban kala Yang Maha Wujud (Al-Wujud) mewujud dalam sesuatu yang tidak wujud (al-‘adam); dan bagaimana sesuatu yang akan binasa dapat bertahan di sisi Dzat yang bersifat kekal.
Kita menduga Allah jauh tak terhingga. Keberadaan Allah seolah-olah tak mampu dijangkau manusia karena kita tidak bisa memahami-Nya dengan indera fisik. Kita mengira Allah tertutup dari dunia ini karena kita menganggap tidak melihat-Nya secara nyata.Namun, Allah Maha Tak Terbatas. Tidak mungkin Dia terhalangi oleh apa pun. Jika ada sesuatu yang mampu menghalangi-Nya, membuat-Nya tertutup, membuat-Nya tak terlihat, artinya gugurlah sifat Allah yang Maha Tak Terbatas; dan hal ini tidak mungkin.
Lalu, mengapa kadang kita merasa demikian jauh dari-Nya? Mengapa kita sering menangis karena mengingat kelalaian yang menggunung? Mengapa pula ada kalanya kita berbuat menyimpang dan mengira tidak ada sesuatu pun yang melihat perbuatan itu? Jawabannya, karena kitalah yang membuat Allah “jauh”. Kitalah yang menghindar darinya.
Diturunkannya manusia ke dunia ibarat seseorang yang diusir dari kampung halamannya sendiri. Ia menemukan tempat bermukim yang baru, yang sekilas tampak lebih mulia jika hanya dilihat dari sudut pandang sementara saja. Siapa yang tidak tergiur dengan nikmatnya berbangga-bangga dengan pakaian mewah, mobil mahal, jabatan tinggi, status pegawai negeri sipil, atau rumah dengan gaya posmodern? Siapa yang di hatinya sedikit saja tidak terpancing untuk sedikit mencicipi kebahagiaan dunia?
Namun, semua kesenangan ini ibarat membawa kita menjadi raja sehari. Orang-orang akan mengelu-elukan sang raja 24 jam, menyerukan kemuliaannya, dan membicarakannya di setiap sudut jalanan. Namun, keesokan harinya, sang raja sudah digelandang dan lebih hina daripada rakyat jelata. Ketika kita memilih hidup duniawi; ingin mencari kesenangan, saat itu pulalah kita menjauhi Allah. Saat itu pula sebenarnya kejatuhan kita sudah digali oleh diri sendiri.
Maka, yang harus dilakukan adalah menyadari betapa dekatnya kita kepada Allah, seperti yang terurai dalam kata-kata hikmah di atas. Kala hati ingin berpaling, sadarilah, dalam setiap apa pun senantiasa ada Allah. Ketika hendak mereguk kebahagiaan duniawi, ingatlah pula hanya kepada Allahlah kita kembali. Bagaimana mungkin kita berhak menyelami dunia yang tidak nyata ini, kalau ada Yang Lebih Nyata darinya? Bagaimana mungkin jatuh cinta kepada yang lain, sementara cinta kepada-Nya adalah satu-satunya yang akan menyelamatkan kita di Hari Pengadilan?
Selama ini, kita tidak sadar bahwa perbuatan demi perbuatan di dunia ini menciptakan jarak dari-Nya. Cara memotong jarak ini adalah dengan senantiasa mengingat-Nya, mengenali semua perbuatan-Nya, melihat esensi-Nya dalam setiap detik kehidupan kita. Kala hati ingin menyerah, ketika muncul keinginan untuk mengikuti orang lain yang merasa berhak menikmati dunia, sadarilah betapa tidak berharganya kita di hadapan Allah.
Sebagai hamba-Nya, cuma pertolongan Allah semata yang membuat kita layak tersenyum di Akhirat; bukan apa-apa yang kita perjuangkan di dunia ini. Sebagai hamba-Nya, cuma pertolongan Allah semata yang membuat kita selamat ketika kebanyakan orang datang dengan hati yang tak suci lagi oleh kepentingan duniawi.
Komentar
Posting Komentar