Kumpulan Kata Mutiara Kitab Al Hikam Ibnu Athailah Bagian 21: Jangan Mengemis Pada Allah
Dalam kumpulan kata mutiara Kitab Al Hikam karya Ibnu Athalilah bagian 21, tertulis 'Permintaanmu kepada Allah menunjukkan kau kurang percaya kepada-Nya.'. Kata mutiara ini mengisyaratkan seorang pencari Allah, tidak berhak menuntut hal-hal yang tidak dimilikinya kepada Allah. Memang Allah Maha Memberi. Tetapi menuntut sesuatu yang di luar pemberian Allah adalah bukti kekafiran tersembunyi.
LARANGAN MEMINTA KEPADA ALLAH
Permintaanmu kepada Allah menunjukkan kau kurang percaya kepada-Nya
Permintaan kepada Allah menunjukkan kau tidak melihatnya
Permintaan kepada selain-Nya menunjukkan sedikitnya rasa malu kepada-Nya
Permintaan dengan selain Allah menunjukkan jauhnya engkau dari-Nya
Kita sudah membahas bahwa seorang muslim wajib memiliki rasa tanggung jawab. Ia harus mau mengakui segala kesalahannya, tidak hanya di bibir, tetapi terutama dalam hati dan perbuatan nyata. Tujuan kepemilikan tanggung jawab ini demi memupuk kepasrahan total kepada semua kehendak Allah. Namun, tanggung jawab saja tak cukup. Alangkah indahnya bila seorang muslim juga senantiasa bersyukur.
Ibaratkanlah diri ini bagaikan anak kecil yang begitu dimanja oleh orang tuanya. Segala kebutuhan hidup tidak perlu dipusingkan; sudah ada di depan mata. Ia pun terbiasa duduk berleha-leha tanpa menyadari bahwa kesenangan yang didapatinya ini berasal dari curahan cinta sang orang tua. Anak kecil ini kadang kala nakal bukan main. Ia kadang menganggap orang tuanya tak ada, memberantakkan seisi rumah tanpa mau menatanya kembali, dan baru sadar jika orang tuanya menegur. Meskipun bandel, orang tuanya begitu pemaaf. Apa pun kesalahan sang anak, asalkan anak tadi menyesal, orang tua itu menganggap tak ada kesalahan lagi; semuanya sudah dihapuskan karena cinta yang begitu besar kepada sang anak.
Kita berada dalam posisi si anak bandel ini. Banyak sekali pelanggaran yang dilakukan, mencintai hal-hal selain Allah, berkubang pada perbuatan dosa tanpa rasa bersalah, atau malas beribadah kepada-Nya. Namun, begitu hebatnya cinta Allah, asalkan kita mau bertaubat sepenuh hati, segala kesalahan dileburkan. Sungguh aneh jika kita tidak memiliki rasa syukur atau ucapan terima kasih atas pemberian maaf dari Allah. Sungguh aneh pula jika kita terus saja merajuk meminta ini dan itu kepada Allah, atau kepada selain-Nya.
Dalam kalimat hikmah di atas, permintaan kita kepada Allah atau selain-Nya, merupakan tanda tanya besar atas syukur kita kepada Allah. Setiap tarikan napas kita adalah anugerah, setiap kalimat yang terucap adalah berkah, setiap air mata yang mengalir ketika rindu kepada Allah adalah kemuliaan tidak terhingga. Untuk apa kita meminta hal lain? Memang, manusia tidak pernah puas. Apa yang didapatkannya hari ini harus lebih baik daripada yang kemarin.
Namun, bukan berarti ketidakpuasan ini tidak bisa dikendalikan. Kita sudah membahas bahwa yang membuat kita mudah mengeluh, mudah meminta, mudah iri, mudah merasa terhina dibandingkan orang lain, adalah kecenderungan jiwa kepada dunia. Kecenderungan inilah yang harus kita bunuh perlahan-lahan dengan syukur kepada Allah; dengan membandingkan diri pada orang atau makhluk lain yang lebih menderita; dengan menimbang berapa banyak cinta Allah yang sudah diberikan dan betapa sedikitnya ujian yang sebenarnya ditujukan kepada kita.
Maka, mereka yang masih meminta kepada Allah, sebenarnya membuka aib diri. Orang-orang ini adalah mereka yang curiga bahwa Allah tidak akan memberikan hal-hal yang menyenangkan. Mereka yang masih terhijab oleh selubung egoisme atas penglihatan kepada-Nya.
Selama kita masih berkata, “Aku belum memiliki yang ini”, “hidupku belum semapan orang itu”, dan seterusnya, selama itu pula kita masih setengah-setengah dalam mencintai Allah. Ada sebuah aforisme terkenal dari seorang sufi, Ma’ruf Al-Kharki, “seorang muslim di dunia ini ibarat tamu. Kalau ada hal-hal yang kurang berkenan di hatinya, sudah sewajarnya sang tamu menunggu Tuan Rumah (Allah) terlebih dahulu, bukan asal merengek ini dan itu.”
Di sisi lain, jika ada orang yang justru berada di kutub sebaliknya, meminta kepada selain Allah, ia juga mengungkapkan kecacatannya sendiri. Apa hak seseorang meminta makhluk yang fana, padahal ia memiliki Khalik yang Abadi? Apa hak seseorang memohon pertolongan kepada makhluk yang sering ingkar janji, padahal ia mempunyai Khalik Yang Janji-Nya selalu mewujud? Betapa tidak tahu malunya kita kepada Allah jika sudah meminta kepada-Nya, masih pula meminta kepada selain-Nya. Lebih jauh, memohon bantuan kepada selain Allah juga menunjukkan betapa jauhnya tingkat keimanan kita untuk menembus hakikat Allah.
Karena terlalu jauh itulah ---yang disebabkan oleh kesalahan diri sendiri--- kita justru berpaling pada yang lebih dekat: makhluk-makhluk-Nya. Padahal, siapa pun yang jauh dari Allah, kemudian berserah diri kepada hal lain, ibarat seorang yang sudah terasing, tetapi masih ingin mengasingkan diri lagi ke tempat paling asing.
Komentar
Posting Komentar