Kumpulan Kata Mutiara Kitab Al Hikam Ibnu Athailah Bagian 11: Rendah Hati


Kumpulan Kata Mutiara Kitab Al Hikam Ibnu Athailah Bagian 11: Rendah Hati

Dalam kumpulan kata mutiara Kitab Al Hikam karya Ibnu Athalilah bagian sebelas, tertulis 'Tanamkan wujudmu ke dalam tanah kerendahan hati. Hal yang tumbuh dari sesautu yang tidak ditanam, tidak akan pernah sempurna'. Kata mutiara ini mengisyaratkan bahwa dasar utama seseorang yang sedang menempuh jalan menuju Allah adalah rendah hati. Hal inilah yang harus ditanamkan sebelum apapun.

PENTINGNYA SIKAP RENDAH HATI
Tanamkan wujudmu ke dalam tanah kerendahan hati. Hal yang tumbuh dari sesuatu yang tidak ditanam, tidak akan pernah sempurna.

Dikisahkan, ada seseorang bernama Asy-Syibli yang begitu ingin menjadi seorang sufi. Ia mendatangi Junayd al-Baghdadi, salah satu guru termasyhur. Asy-Syibli, dengan keangkuhannya, meminta Junayd untuk “menjual” hikmah pengetahuan Ilahi. Junayd menyanggupinya. Sebagai syarat, Junayd meminta agar Asy-Syibli menjadi seorang penjual arang selama setahun.

Bagi Asy-Syibli ini adalah pukulan telak. Ia salah satu orang terpandang di kota. Menjadi penjual arang sama saja dengan menjadi pengemis. Namun, demi cita-cita mulia, Asy-Syibli rela meninggalkan jabatan. Selang setahun, Asy-Syibli datang lagi untuk menagih janji Junayd memberikan hikmah pengetahuan ilahi. Junayd kembali meminta Asy-Syibli berbuat hal lain selama setahun ke depan. Demikianlah seterusnya dalam 7 tahun.

Pekerjaan yang didapatkan Asy-Syibli setiap tahun lebih rendah daripada pekerjaan sebelumnya. Puncaknya, Asy-Syibli harus menjadi pengemis compang-camping; dan tak berhak memakan hasil mengemisnya tadi. Jadilah ia bahan tertawaan di seluruh kota. Kehidupan Asy-Syibli hancur. Ia didera penderitaan berkepanjangan. Sementara, Junayd al-Baghdadi selalu menambah dan terus menambah bebannya.


Pada akhir cerita, ketika Asy-Syibli dijadikan pelayan bagi murid-murid Junayd, Asy-Syibli tersenyum. Ia menjalani pekerjaan itu dengan senang hati. Asy-Syibli sadar, deraan demi deraan yang diberikan Junayd, ternyata begitu cocok untuk mengikis keegoisan dirinya. Selama ini Asy-Syibli sibuk dengan kepentingannya sendiri. Ia, seperti kebanyakan umat beragama lain, selalu ingin menjadi yang terdepan. Asy-Syibli menyadari, keinginan menjadi yang terbaiklah yang membuat hidup ini hancur.

Kita senantiasa ingin bersaing dan tak pernah puas. Apakah ketika dunia sudah ada di genggaman tangan, kita akan bahagia? Seseorang yang sudah terlatih menang, tak akan pernah menyerah sebelum “menjadi Tuhan”. Sebaliknya, seseorang yang senantiasa terlatih menderita kekalahan, akan senantiasa bersyukur atas apa pun yang terjadi.

Bagaimana korelasinya dengan kehidupan sehari-hari? Mereka yang dipilih oleh Allah untuk mengenali-Nya, akan dibawa ke medan pertempuran seperti yang dihadapi oleh Asy-Syibli. Bukan medan pertempuran yang melelahkan tenaga dan mengancam nyawa. Lebih dari itu, medan pertempuran ini mampu menghancurkan mental, pikiran, jiwa, dan ruh dalam sekejap mata. Medan ini adalah pertempuran melawan diri sendiri.

Kita mungkin akan menang dalam berkelahi dan berdebat dengan orang lain. Namun, bagaimana jika kita diperintahkan untuk berseteru dengan ego diri sendiri?  Kebanyakan orang akan lebih mengutamakan kepentingan dirinya daripada apa pun. Kebanyakan orang cenderung beribadah kepada Allah karena ingin selamat di Akhirat kelak. Satu-satunya pembuktian apakah kita mampu mengalahkan diri sendiri, adalah dihancurkan sedemikian rupa oleh Allah. Kita dibuat hanya bergantung kepada-Nya. Ada berbagai cara rahasia Allah. Misalnya, ejekan para tetangga, pandangan remeh rekan kerja, atau usaha yang senantiasa gagal. Ujian ini akan terus mewarnai hidup kita sampai hirupan napas terakhir. Semakin banyak kita diuji, semakin besar peluang kita untuk merendahkan diri di hadapan Allah. Semakin sedikit kita diuji, semakin besar peluang kita untuk merasa pongah dan menyangkan bahwa diri ini istimewa.

Ujian demi ujian yang diberikan Allah ibarat memendam kita ke dalam tanah. Kita adalah biji tanaman yang harus tumbuh. Terpendam di dalam tanah, kemudian bangkit untuk mencari matahari cinta Allah memang berat pada awalnya. Namun, di akhir cerita, kita tidak akan hancur karena telah memiliki akar yang cukup kuat ketika bibit tanaman ini sudah menjadi pohon.

Bayangkan dengan orang yang dibiarkan Allah untuk bersenang-senang, tidak menderita, dan senantiasa merasa dirinya lebih hebat daripada semua orang. Orang seperti ini diibaratkan sebagai bibit tanaman yang diletakkan begitu saja di ketinggian. Mungkin rasanya nyaman di awal kehidupan. Namun kelak, bibit tumbuhan ini tak akan mampu berkembang.

Lebih baik merasa rendah diri dan senantiasa bergantung kepada Allah daripada merasa sombong dan kehilangan cinta dari-Nya. Yakinlah, orang yang senantiasa membutuhkan pertolongan-Nya, akan dihujani bantuan yang terus-menerus oleh-Nya. Kalau ujian dan penderitaan membuat kita selalu membutuhkan Allah, mengapa kita harus takut kepadanya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumpulan Kata Mutiara Terbaik Jalaludin Rumi (Masnawi I) Mukadimah

Jenis-Jenis Istighfar: Adab Beristighfar dalam Kisah Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Amalan Doa Sehari-Hari: Zikir Malam Hari (Sebelum Tidur)