Kisah Hikmah Pencerah Hati: Pelayan dan Rahasia Rumah Orang Bijaksana
Pada zaman dahulu, ada seorang bijaksana yang memiliki sebuah rumah mewah berukuran raksasa. Sepanjang hidup, orang bijaksana tersebut sering pergi jauh dalam waktu yang cukup lama. Jika ia sedang bepergian, pemeliharaan rumah mewahnya tadi diserahkan kepada para pelayannya. Sayangnya, para pelayan itu sangat mudah lupa. Seringkali mereka kehilangan kesadaran mengapa mereka ada di dalam rumah tersebut. Yang bisa mereka lakukan hanyalah melakukan kewajiban, memelihara rumah, dengan cara mengulang –ulang apa saja yang sudah dikerjakan. Karena faktor lupa pula, mereka kadang menciptakan teori baru tentnag pemeliharaan rumah, melakukan pekerjaan dengan cara yang jahuh berbeda dengan yang telah diberitahukan pemilik rumah kepada mereka.
Konon, ketika suatu saat sang pemilik rumah kembali bepergian jauh, muncullah sekelompok pelayan yang mengira bahwa merekalah pemilik rumah tersebut. Uniknya, karena bekal pengetahuan mereka sangat terbatas (hanya mempelajari pengetahuan sehari-hari tentang tata-cara perawatan rumah), kadang mereka menempuh kesulitan. Misalnya, mereka ingin menjual rumah, tapi gagal mendapatkan pembeli karena mereka tidak memiliki kemampuan menjual rumah tersebut. Suatu saat, ada orang yang datang langsung ke rumah tersebut, hendak membeli rumah. Sebagaimana lazimnya pembeli, orang tersebut menanyakan sertifikat tanah dan surat-surat hukum lainnya. Karena para pelayan tadi tidak tahu apa-apa tentang hal semacam itu, mereka mengira calon pembeli tersebut tidak serius membeli rumah.
Keadaan yang aneh tersebut semakin berlanjut karena persediaan untuk rumah selalu muncul secara rahasia. Tidak ada seorang pelayan pun yang mengetahui cara persediaan itu muncul. Tiba-tiba saja ada dan mereka mesti menggunakannya. Kebanyakan persediaan itu tidak cocok dengan anggapan para pelayan rumah. Sementara itu, petunjuk untuk mengurus rumah (karena pelayan sering lupa) ditinggalkan di dalam kamar sang pemilik rumah. Tujuannya, agar pelayan mampu mengingat apa saja yang telah mereka lupakan.Namun, setelah lewat satu generasi pelayan, kamar itu malah dianggap sangat keramat sehingga tidak ada seorang pelayan pun yang diperbolehkan memasukinya. Anggapan-anggapan pun mulai muncul dalam benak para pelayan.
Misalnya, kamar tersebut dianggap sebagai rahasia yang tidak tertembus, harus ada kemampuan khusus dari para pelayan untuk menembus kamar tersebut meskipun masalahnya tinggal membuka kamar tersebut dengan kunci yang tepat. Bahkan, imajinasi para pelayan semakin berkembang. Karena kamar tadi tidak boleh didekati, beberapa di antara mereka menganggap bahwa kamar tersebut tidak pernah ada di rumah mewah tadi, meski mereka melihat pintunya. Seiring dengan waktu, para pelayan mulai memiliki penjelasan lain tentang pintu tersebut. Pastilah pintu tersebut sekadar hiasan dinding belaka. Pada akhirnya, begitulah keadaan para pelayan rumah. Mereka tidak bisa mengambil alih rumah karena ketidakcakapan dan di satu sisi mereka juga tidak setia dengan petunjuk semula oleh pemilik rumah.
Hikmah Kisah Para Pelayan dan Rumah
Kisah di atas sebenarnya dengan tepat merekam keadaan semua agama di dunia. Pemilik rumah adalah para nabi yang diutus Allah untuk memberikan segala macam pengetahuan, baik yang bersifat lahir maupun batin kepada umatnya (para pelayan rumah). Kita sering mengira bahwa ibadah adalah kewajiban semata seperti yang dianggap para pelayan rumah itu ketika merawat rumah (menjaga agama). Padahal, ibadah adalah pertemuan dengan Allah.
Para nabi, sebagai “penemu rumah” telah mengolah konsep ibadah untuk menyimpan rahasia tentang kehidupan. Secara gegabah umatnya hanya menganggap ibadah sebatas ibadah. Misalnya, di balik pelatihan salat jamaah, diharapkan minimal ada dua kesadaran yang berkembang.
Pertama, pentingnya sebuah umat untuk bersatu (agar tidak bisa terpecah belah).
Kedua, membangkitkan kesadaran bagi umat tentang hari kiamat; ketika manusia dikumpulkan dalam keadaan hina untuk menghadap Allah.
Begitu juga dengan kisah para nabi dalam Alquran. Setiap kisah didesain sedemikian rupa untuk meningkatkan kesadaran pembacanya.
Misalnya, kisah Nabi Nuh tentang banjir, sama persis dengan kisah Hari Akhir. Nabi Nuh kehilangan anak kesayangannya, Kanaan yang membangkang, tidak percaya kepada Allah. Hal ini sama dengan keadaan ruh yang tidak membutuhkan tubuh (atau kesenangan-kesenangan dunia) pada Hari Kiamat. Menanggapi informasi ini, kebanyakan umat beragama lebih memilih “cara aman” yang sebenarnya mengungkapkan ketidaktahuan mereka, dalam menjalankan ibadah atau mengamati kisah dalam Alquran yang dapat dijadikan pelajaran bagi mereka . Bahkan, orang-orang yang mengetahui rahasia ibadah dan isi Alquran oleh kebanyakan umat Islam dianggap sebagai pelaku bidah hanya karena bahasan “pelaku bidah” tersebut lebih mendalam daripada apa yang selama ini mereka pelajari (meskipun yang dipelajari adalah kesalahan).
Komentar
Posting Komentar