Kisah Pencerah Hati: Raja Yahudi, Wazir, dan Orang Nasrani


Kisah Pencerah Hati: Raja Yahudi, Wazir, dan Orang Nasrani

Seorang raja Yahudi terbiasa untuk menganiaya orang-orang Nasrani; sang raja ingin memusnahkan iman mereka. Wazir membujuk sang raja untuk mencoba strategi baru: menjatuhkan nama sang wazir, mengusirnya dari istana, dengan tujuan agar sang wazir bisa berlindung pada orang-orang Nasrani. Ketika sang wazir sudah tinggal bersama mereka, sang wazir akan memancing perselisihan sesama Nasrani.
Saran wazir itu diterima dan dilaksanakan sang raja bulat-bulat. Selanjutnya, sang wazir pura-pura melarikan diri dan bergantung pada orang-orang Nasrani. Sang wazir tidak menemui kesulitan untuk mengelabui mereka bahwa sang wazir diperlakukan raja dengan biadab karena beralih menganut Nasrani. Sang wazir dengan mudah diterima orang-orang Nasrani. Bahkan, sang Wazir dijadikan sebagai martir suci dan guru agama Nasrani.

Hanya beberapa orang berfirasat tajam yang meramalkan pengkhianatan sang wazir. Secara umum, semua umat Nasrani tertipu olehnya. Orang-orang Nasrani dibagi menjadi dua belas sekte dan pada setiap sekte dipimpin oleh seorang pemimpin sekte. Untuk masing-masing pemimpin sekte, wazir diam-diam memberikan arahan yang berbeda; Setiap pemimpin sekte diberi arahan yang bertentangan dengan pemimpin sekte lainnya. Ada yang diberi arahan untuk melaksanakan puasa, ada yang cukup hanya beramal, ada yang cukup hanya beriman, ada yang cukup hanya bekerja, dan seterusnya. Setelah memberi arahan, wazir mengasingkan diri ke gua; ia menolak untuk keluar untuk mengajar murid-muridnya, meskipun hampir semua umat Nasrani memohon padanya.

Dalam persembunyiannya di dalam gua, wazir memanggili para pemimpin sekte tanpa diketahui pemimpin sekte lain. Wazir memberi petunjuk rahasia kepada para pemimpin sekte untuk mempersiapkan diri sebagai pengganti sang wazir jika meninggal. Sang wazir juga berpesan kepada setiap pemimpin sekte untuk membunuh pemimpin sekte lain yang menerima ajaran darinya. Setelah memberi arahan ini, wazir bunuh diri.

Oleh karena petunjuk wazir yang disampaikan secara sembunyi-sembunyi, semua pemimpin sekte menganggap diri mereka sendiri sebagai pengganti wazir yang paling baik. Akibatnya, orang-orang Nasrani terbelah menjadi banyak sekte dan bermusuhan satu sama lain; sesuai rencana wazir. Beruntunglah, rencana jahat tersebut tidak sepenuhnya berhasil. Ada salah satu sekte yang setia terhadap ajaran awal dan tidak terpengaruh oleh perpecahan; sekte tersebut memberikan sinyal adanya “Ahmad” , yang disebutkan dalam Injil; sekte inilah yang diselamatkan dari kehancuran perpecahan umat Nasrani.

Hikmah Kisah Raja Yahudi, Wazir, dan Orang Nasrani
Ada begitu banyak jebakan yang harus kita lalui di dunia; yang terutama adalah sikap ramah yang kadang membuat kita lupa sang pelaku sikap ramah tersebut. Dalam kisah di atas, hanya karena Wazir datang ke tengah kelompok Nasrani sebagai orang yang menderita, yang ditindas Raja Yahudi sama seperti mereka, orang Nasrani mengira bahwa ia orang baik. Dalam konteks sehari-hari, hanya karena kesenangan hidup terlihat selaras dengan keadaan kita; seolah-olah kita butuhkan, kita mengira kesenangan tersebut benar-benar nyata dan akan menyelamatkan kita dari bahaya penderitaan (padahal penderitaan hiduplah yang membuat kita mengenal Allah).

Dalam konteks kehidupan beragama, keadaannya dapat dikatakan lebih fatal lagi. Kita banyak dibuai oleh ustadz atau ustadzah yang menggiring pada kesesatan. Misalnya, entah berapa banyak pengajar agama justru menyarankan tambahan-tambahan ibadah tertentu, mengucap doa dengan jumlah tertentu (misal,
“Alhamdulillah” dibaca 100 kali, kita akan diberi kemudahan oleh Allah). Mungkin benar, melalui doa dengan jumlah tertentu, kita akan diberi kemudahan. Meskipun demikian, jangan sampai kita berhitung, melalui doa dengan jumlah tertentu tersebut, kita sudah pasti diberi kemudahan. Siapa yang bisa menjamin hal tersebut? Bukankah kita juga harus mengoreksi kekurangan kita dalam mengucap doa? Bisa jadi bibir kita mengucap doa sedangkan hati kita melenceng ke mana.

Kita mungkin mengklaim bahwa toh ustadz dan ustadzah tersebut tetap menggunakan Alquran dan Hadis sebagai rujukan. Ingatlah, bahwa 14 abad lalu, Nabi Muhammad saw. berkata, “akan tiba waktunya pengetahuan lenyap dari dunia.”

Ziad, salah satu sahabat Nabi, berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin pengetahuan meninggalkan dunia sedangkan kami membaca Alquran dan mengajar nya kepada anak-anak kami, dan anak-anak kami berbuat hal yang sama kepada keturunannya, dan demikian seterusnya hingga hari kiamat?”

Nabi Muhammad saw. berkata, “Wahai Ziad, kusangka kau adalah salah satu orang paling terpelajar di Madinah. Bukankah orang Yahudi dan orang Nasrani juga membaca Alkitab dan Injil (kitab suci) seiring dengan pengetahuan mereka yang melenyap?”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumpulan Kata Mutiara Terbaik Jalaludin Rumi (Masnawi I) Mukadimah

Jenis-Jenis Istighfar: Adab Beristighfar dalam Kisah Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Amalan Doa Sehari-Hari: Zikir Malam Hari (Sebelum Tidur)