Kisah Pencerah Hati: Tiga Laron Yang Membakar Diri
Pada suatu malam, sekelompok laron berkumpul bersama. Mereka bertukar kisah tentang kerinduan yang menyiksa hati; keinginan mereka untuk bergabung dengan cahaya lilin . Bagi para laron yang tergerak oleh cahaya, persuaan pertama mereka dengan lilin yang dianggap sebagai Cahaya Abadi; tidak dapat mereka lupakan. Mereka tidak berhenti menceritakan lilin itu dari pandangan masing-masing hingga akhirnya mereka mengeluarkan kesepakatan bahwa mereka harus menemukan seekor laron yang dapat menceritakan lilin yang sangat mereka dambakan itu. Artinya, harus ada seekor laron yang terbang mendekati lilin dan mengisahkan detail penting selama ia berada di dekat lilin tersebut.
Seekor laron berangkat mengemban misi pertama. Ia melihat seberkas cahaya lilin di sebuah puri yang bisa dilihat para laron tersebut dari kejauhan. Ketika laron pertama kembali, ia mengisahkan keindahan lilin ketika dijumpainya. Laron terbijak di antara mereka, sang pemimpin laron, berkata, “laron pertama tidak memiliki informasi yang mencukupi bagi kita untuk mengenal cahaya lilin yang sebenarnya. Lebih baik salah satu dari kita berangkat ke sana sekali lagi untuk melihat lebih detail.”
Maka, diutuslah laron kedua untuk melihat lilin. Agar tidak mengulangi kesalahan laron pertama, laron kedua berupaya lebih mendekati cahaya lilin. Ia tidak hanya berusaha mengelilingi lilin. Ia juga menyentuhkan sayapnya kepada nyala api lilin meski hanya sekejap. Setelah puas dengan “penemuan”-nya, laron kedua datang kembali ke sarang dan mengisahkan keberaniannya mendekati lilin. Penjelasan itu tidak cukup bagi Si Laron Bijak, yang berkata, “Penjelasanmu tak lebih berarti daripada penjelasan laron pertama. Kita membutuhkan yang lebih detail lagi.”
Maka, berangkatlah laron ketiga. Ia tidak hanya mengelilingi cahaya lilin. Saking cinta dan rindunya pada cahaya tersebut, laron ketiga mendorong dirinya ke depan lilin dan mengarahkan sungutnya kepada api. Begitu seluruh tubuhnya dilalap api, tubuhnya menjadi merah menyala seperti api. Hal ini tidak lepas dari pandangan semua laron. Si Laron Bijak melihat bahwa lilin tersebut menerima seluruh tubuh laron ketiga dan memberikan cahayanya kepada sang laron meski sang laron luluh lantak karena tak kuat menahan panasnya api lilin. Maka, Laron Bijak berkata, “laron ketiga adalah laron terbaik yang pernah ada. Ia telah mencapai pengetahuan tertinggi dengan menyatukan diri dengan api lilin; ia memiliki rahasia tersembunyi yang takkan diketahui laron-laron lain yang tidak seberani dirinya.”
Hikmah Kisah Tiga Laron Yang Membakar Diri
Kisah tiga laron di atas secara tepat sebenarnya melambangkan perjalanan manusia kepada Cahaya Allah; yang dilukiskan dengan indah oleh Q.S. 24:35, “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (sesuatu itu), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Laron pertama dan kedua tidak mampu menjangkau pengetahuan Allah karena mereka masih melekatkan atribut diri; tidak mau menghancurkan diri masuk ke dalam cahaya seperti yang dilakukan oleh laron ketiga.
Padahal, seperti yang dijelaskan dalam Q.S. 24:35, Cahaya Allah terselubungi sedemikian rupa (di dalam kaca di balik lubang yang tak tembus) dari makhluk-Nya di dunia. Yang mesti dilakukan oleh makhluk untuk mencapai Allah adalah meniadakan dirinya. Dalam latihan sufi, banyak ditemui latihan semacam ini. Seorang murid dibiasakan untuk berada dalam keterombang-ambingan hidup; ia diberi gambaran-gambaran imajinatif dan ia mesti mengolah serta menentukan sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya kita juga dilatih seperti itu (bagi yang sadar). Kita diberi kesempatan untuk memperoleh harta. Jika saat itu pula kita memutuskan bahwa kita diberi harta karena Allah mencintai kita, artinya kita terjebak dalam imajinasi (karena bisa jadi Allah ingin menegur keserakahan kita pada harta). Demikian pula sebenarnya dengan ibadah. Kita hanya bisa mereka-reka apakah ibadah kita diterima Allah atau tidak. Kadang, imajinasi diterima Allah tersebut sangat berlebihan sehingga kita merasa berhak melanggar aturan-Nya.
Lebih jauh, menurut Fariduddin Attar yang mengisahkan cerita laron ini, hanya orang yang telah meninggalkan pengetahuan akan keberadaan dirinya, yang dapat memiliki Hikmah Kebijaksanaan Ilahi. Orang ini mesti seperti laron; membuang semua gelar dirinya selama ada di dunia; pujian dan cacian, untuk menyadari keadaan yang sebenarnya. Attar berkata, “selama kau masih memedulikan jiwa dan ragamu, bagaimana mungkin kau mampu mengenal Dia yang kau cinta? Selama kau masih takut pada api, dengan memilih untuk berhati-hati seperti laron pertama dan kedua, mana mungkin kau bisa menjadi orang-orang terpilih untuk menghadap Allah sedangkan Allah tidak membutuhkan apa pun?”
Komentar
Posting Komentar