Kisah Para Nabi: Kisah Nabi Nuh & Banjir Bandang Dalam Alquran
Dalam kisah para nabi kali ini, kita akan membahas kisah Nabi Nuh dan banjir bandang yang menimpa kaum beliau, yang terdapat dalam Alquran. Kisah ini menambah detail rinci yang belum diungkapkan dalam Perjanjian Lama, sebagai konsekuensi Alquran sebagai kitab penyempurna.
Kisah Nabi Nuh dalam Alquran, seperti halnya kisah Nabi Adam, tersebar dalam beberapa surat. Yang terutama, dalam Q.S. 71:1—28, ketika nama “Nuh” ditahbiskan sebagai nama surat tersebut. Selanjutnya, kisah Nabi Nuh muncul dalam Q.S. 23: 23—30.
Terdapat pula kisah Nabi Nuh dan sang anak, Kanaan, dalam Q.S. 11:25—50, yang “membedakan” kisah Nabi Nuh dalam Alquran dengan kisah yang sama dalam Perjanjian Lama. Nama Kanaan sebagai anak Nuh tidak tercantum dalam Perjanjian Lama. Anak-anak Nuh yang disebutkan adalah Sem, Ham, dan Yafet (Kejadian, 9:18). Sementara itu, Kanaan disebutkan sebagai anak dari Ham, cucu Nuh.
Dalam hal-hal ini, kisah Nabi Nuh dalam Alquran berfungsi sebagai pelengkap, pengoreksi, sekaligus penambah hikmah kebijaksanaan bagi umat beragama, tidak hanya Islam, karena Alquran disampaikan melalui Nabi Muhammad saw. yang menjadi rahmat untuk sekalian alam.
Kisah Nabi Nuh diawali dari posisi beliau sebagai pemberi peringatan kepada kaumnya tentang keberadaan Allah dan bencana banjir yang sebentar lagi menimpa kaumnya. Kita bisa melihat Q.S. 71:1, “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan): “Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya azab yang pedih”,”. Dalam konteks ini, kita bisa memperhatikan bahwa Kam Nuh sebenarnya tidak berjarak terlalu jauh dari keturunan Nabi Adam. Bahkan, sebelum Nabi Nuh, masih ada Nabi Idris yang memberi peringatan tentang Allah sebagai Tuhan yang Satu. Akan tetapi, setelah Nabi Idris tidak ada, terjadi degradasi pemahaman Tuhan pada kaum-kaum berikutnya hingga tiba pada masa Kaum Nabi Nuh.
Seiring hilangnya pemberi peringatan (nabi), kaum-kaum tersebut mulai kehilangan kepercayaan tentang Tuhan yang Satu. Kaum Nabi Nuh misalnya, mengandai-andaikan bahwa terdapat beberapa dewa yang pangkatnya berada di bawah Tuhan, atau ada beberapa dewa yang memiliki kemampuan dalam mengendalikan gerakan-gerakan alam semesta. Kaum Nabi Nuh terbiasa menyembah dewa-dewa tersebut, dan secara kebetulan mereka mendapatkan keuntungan atas penyembahan dewa-dewa tersebut. Mereka menganggap dewa-dewa itu, yang dibuatkan berhala, dengan mudah mengabulkan doa mereka.
Oleh karena itu, ketika Nabi Nuh muncul dan memberi peringatan, kaum tersebut menolak Tuhan Yang Satu. Bahkan, mereka memusuhi Nabi Nuh dan berkata bahwa penyembahan mereka terhadap dewa-dewa seperti Wadd, Suwwa’, Yaghuts, Yauq, dan Nasr tidak bisa ditinggalkan. Kita bisa melihat hal ini dalam Q.S. 71:23, “Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr.”.”. Kita bisa melihat bahwa Kaum Nabi Nuh merasa nyaman terhadap sikap mereka yang menyekutukan Allah karena sikap mereka tersebut menguntungkan (doa mereka dikabulkan).
Dari sini, kita bisa memetik pelajaran berharga bahwa segala hal yang menyenangkan ternyata tidak selamanya segaris lurus dengan kebenaran. Bahkan, bukan tidak mungkin bahwa segala hal yang menyenangkan tersebut adalah ujian Allah. Bukankah segala sesuatu di dunia hanyalah permainan dan sendau gurau belaka? Tidak ada yang benar-benar nyata di dunia ini. Kesenangan pun demikian halnya. Hal seperti ini tercantum dalam Q.S. 89:15—16, “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku.” (15) dan “Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku” (16).
Ada dua hal yang menjadi batu ujian bagi kita, kesenangan dan kesedihan. Sebenarnya kesenangan dan kesedihan itu tidak ada artinya apa-apa selain bukti keberadaan Allah. Kitalah yang terlalu banyak menafsirkan bahwa kesenangan berarti dimuliakan Tuhan dan kesedihan berarti dihina Allah. Padahal, sabda Nabi, “sebagaimana emas diuji dengan ditempatkan dalam sebuah wadah di atas api, demikianlah orang beriman diuji melalui malapetaka dan bencana.”. Dalam kasus Kaum Nabi Nuh, mereka mengira, karena mereka senang, mereka benar. Inilah yang patut kita waspadai!
Bukan berarti jika kita senang, kita benar, atau sebaliknya ketika kita sedih, kita salah. Bukan pula berarti, jika kita kita dirundung kesedihan terus-menerus, kita selalu benar. Senang dan sedih adalah permainan dunia. Siapa pun yang terjebak bahwa kesenangan atau kesedihan menyiratkan sesuatu, mereka sebenarnya telah menciptakan berhala sendiri. Kaum Nabi Nuh layak disebut gagal karena terjebak pada nikmatnya kesenangan. Tentu, pencantuman keadaan ini dalam Alquran dimaksudkan agar kita, yang selama ini cenderung berpikir semacam ini, terlepas dari pikiran tersebut. Bahkan, sangat ironis jika kita, yang katanya mengaku bahwa Alquran adalah pedoman hidup, masih berpikir tentang prinsip senang-sedih seperti halnya untung-rugi. Jika seseorang sudah diberi buku panduan melaksanakan tugas dan ia gagal dalam tugas tersebut, bukankah orang ini lebih buruk daripada orang yang tidak diberi buku panduan?
Di sinilah letak dilema yang dihadapi Nabi Nuh. Tugasnya tidak digubris oleh kaumnya sendiri. Bahkan, meskipun Nabi Nuh juga diberi pengetahuan tentang akan datangnya azab yang pedih berupa banjir, Kaum Nabi Nuh tidak percaya dan justru memeroloknya. Para pemimpin kaum, yang mendapat keuntungan dengan ditinggikan derajat mereka sebagai pemimpin doa kaum Nabi Nuh, menganggap Nabi Nuh sebagai ancaman. Oleh karena itu, para pemimpin kaum tersebut menuduh yang tidak-tidak kepada Nabi Nuh. Misalnya, Nabi Nuh dianggap hanya ingin mempertinggi derajatnya agar memeroleh derajat yang sama dengan para pemimpin tersebut, seperti yang disebut dalam Q.S. 2:24, “Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya menjawab: “Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu.”.
Para pemimpin Kaum Nabi Nuh juga mempertanyakan ketidakhadiran malaikat sebagai pengantar wahyu. Para pemimpin beralasan, bukti bahwa seseorang diberi petunjuk Allah adalah datangnya malaikat kepada kaum yang dinaungi oleh orang tersebut. Karena Nabi Nuh mengaku menjadi pemberi peringatan dari Allah, Nabi Nuh harus membuktikannya dengan adanya malaikat. Para pemimpin ini berkaca pada kisah Nabi Idris yang dibawa malaikat ke hadapan Allah dan diajari membaca dan menulis. Sindiran para pemimpin kaum Nuh ini tertulis dalam Q.S. 2:24 juga, “Dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu.”.
Para pemimpin kaum ini tidak sadar bahwa urusan mukjizat atau malaikat bukanlah urusan mereka atau urusan Nabi Nuh. Lalu, jika kita pindahkan keadaan ini dalam konteks kekinian, sebenarnya perilaku kita tak lebih sama seperti kelakuan para pemimpin Kaum Nabi Nuh. Bukankah kita juga sering terpukau pada hal-hal ajaib, yang berada di luar nalar? Ketika Ponari bisa menyembuhkan orang melalui batu, entah berapa ribu orang yang mengantri agar disembuhkan. Ketika ada fenomena awan yang berupa wajah orang atau bentuk tertentu, kita menganggapnya sebagai tanda-tanda dari alam yang hendak mengamuk. Misalnya, awan yang berwajah Petruk menjelang erupsi Merapi. Kita lantas menganggap desas-desus Mbah Petruk, kekuatan gaib di Gunung Merapi, benar-benar nyata dan menguasai alam. Kita juga menganggap anak indigo sebagai anak luar biasa, padahal yang kita ketahui tentang mereka hanyalah tafsiran berlebihan orang-orang yang terjebak pada mistisisme. Kita menganggap bahwa hal-hal mistis adalah tanda kedekatan seseorang pada kekuatan Allah!
Pola pikir semacam ini jelas-jelas sesat. Allah tidak membutuhkan seseorang yang super untuk menunjukkan kekuatan-Nya. Allah menampilkan kekuatan-Nya melalui orang-orang beriman, yang mau memberi tanpa berharap menerima. Ada atau tidak adanya mukjizat sama sekali tidak memengaruhi kenabian seseorang karena mudah bagi Allah membuat seseorang tidak terkenal di dunia, tetapi terkenal di langit, mudah bagi Allah membuat orang yang terlihat sangat sederhana di dunia, tidak bisa apa-apa, tetapi dipuji-puji penghuni langit. Bukan tidak mungkin pula Allah membuat orang-orang terkenal di dunia dengan kekuatan palsu mereka (yang kita sebut mukjizat atau hal gaib), padahal di langit mereka disumpahi oleh para penghuni langit, para malaikat.
Oleh karena terjebak pola pikir bahwa Nabi harus disertai malaikat, seperti yang terjadi pada Nabi Idris, sementara Nabi Nuh tidak demikian, para pemimpin Kaum Nabi Nuh berkata tentang Nabi Nuh, “la tidak lain hanyalah seorang laki-laki yang berpenyakit gila, maka tunggulah (sabarlah) terhadapnya sampai suatu waktu.” (Q.S. 23:25). Kita bisa melihat bahwa orang gila (pemimpin Kaum Nabi Nuh) menuduh Nabi Nuh sebagai orang gila. Dunia sudah dipenuhi dengan keterbalikan! Demikian pula dengan kita saat ini, yang memuji-muji orang-orang berkekuatan “khusus”. Jika kita berperilaku demikian, kita sama dengan para pemimpin tersebut. Kita adalah orang gila sesungguhnya yang tidak mau mengaku gila hanya karena jumlah kita terlalu banyak!
Perlakuan kejam terhadap Nabi Nuh juga bisa dilihat dalam Q.S. 11:27, “Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.”. Dalam ayat tersebut, lagi-lagi kita bisa melihat betapa banyaknya orang yang terjebak pada bentuk luar sebuah kebenaran.
Seperti kaum nabi-nabi yang akan datang, kaum Nabi Nuh adalah masyarakat kelas bawah yang miskin dan tidak punya pengharapan selain kepada Allah. Orang-orang semacam ini, oleh masyarakat yang mengaku “normal” sering dipandang remeh. Mereka yang meremehkan biasanya terjebak pada prinsip nilai seseorang terletak dari apa-apa yang dimilikinya. Kaum Nuh yang miskin, apa yang bisa dibanggakan dan diandalkan dari mereka? Akan tetapi, sebenarnya di sinilah letak keistimewaan mereka yang mengimani Nabi Nuh. Bahkan, keadaan mereka yang “hina” di mata orang awam sebenarnya hanyalah selubung atas limpahan kasih sayang Allah kepada mereka.
Percayalah, jika Allah tertarik pada keimanan seseorang, Allah akan menarik orang tersebut lebih dekat dengan-Nya. Lalu, pahamilah bahwa segala macam hal di dunia adalah jebakan yang menjauhkan orang dari Allah. Jadi, cara agar kita mendekat pada Allah adalah dengan menghancurkan hal-hal di dunia. Salah satu cara yang paling mudah tentu saja adalah hidup miskin dan tidak punya tempat bergantung selain Allah. Bukankah terdapat hadis Qudsy, “Hamba-Ku mendekat pada-Ku sehingga Aku menjadikannya sahabat-Ku, dan ketika Aku telah menjadikannya sahabat-Ku, Aku pun menjadi telinganya, matanya, dan lidahnya”; atau hadis lain yang setipe, “Jika hamba–hamba-Ku itu sudah mendekat kepada-Ku dengan hal yang fardu dan yang sunah sampai Aku mencintainya, maka jika Aku mencintainya Aku akan menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan Aku menjadi tangan dan kakinya yang ia gunakan untuk bergerak, dan jika ia meminta pada-Ku, Aku akan mengabulkan permintaannya, jika ia minta perlindungan, maka Aku melindunginya”. Manusia beriman diuji dengan penderitaan duniawi demi cinta Allah! Inilah yang terjadi pada Kaum Nabi Nuh yang bersetia, dan ini pulalah yang terjadi pada kita. Maka, berbanggalah mereka yang hidup miskin tetapi senantiasa mengenal Allah seperti sabda Nabi, “kemiskinan adalah kebanggaanku”.
Tentunya, proses pemberitaan kebenaran tentang Tuhan yang Satu yang dilakukan oleh Nabi Nuh tidak hanya sehari-dua hari, tetapi ratusan tahun. Proses tersebut berulang kali dilakukan dan berulang kali pula gagal. Menanggapi hal ini, di samping tekanan tinggi yang diberikan Para Pemimpin Kaum, Nabi Nuh kemudian menunjukkan mukjizatnya, yaitu berita tentang ancaman datangnya banjir besar. Kita bisa memperhatikan bahwa Nabi Nuh tidak meramal, tetapi memberitahu. Perbedaan Nabi Nuh dan peramal adalah garansi ucapan mereka. Peramal tidak bisa menggaransi ucapan mereka. Oleh karena itu, biasanya peramal menggunakan bahasa-bahasa bersayap demi menutupi celah kesalahan ramalan mereka.
Sebaliknya, Nabi Nuh tidak demikian. Nabi Nuh menyampaikan ancaman adanya azab besar yang akan diderita kaumnya. Inilah bukti sebenarnya tentang kenabian Nabi Nuh. Seorang peramal tidak akan terbukti ucapannya, tetapi seorang nabi pasti ucapannya terbukti!
Akan tetapi, Nabi Nuh tidak serta merta menyalahkan kaumnya. Nabi Nuh masih menyampaikan dakwahnya dengan hati-hati, dengan sopan santun, meski Allah bisa saja mendatangkan banjir besar kapan pun. Oleh karena itu, Nabi Nuh berkata kepada kaumnya, “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku ada mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku rahmat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu. Apa akan kami paksakankah kamu menerimanya, padahal kamu tiada menyukainya?” (Q.S. 11:28). Nabi Nuh masih menggunakan tawaran, dengan berkata “bagaimana pendapatmu, pikiranmu jika …”, tanda bahwa Nabi Nuh membuka dialog terbuka, tidak asal menjatuhkan hukuman.
Selanjutnya, Nabi Nuh juga menjelaskan bahwa seorang nabi hanyalah manusia biasa. Oleh karena itu, Nabi Nuh tidak berkata kepada kaumnya bahwa Nabi Nuh mengetahui hal gaib (Q.S. 11:29). Perhatikan bahwa Nabi Nuh berkata bahwa ia tidak mengetahui yang gaib. Bagaimana dengan para peramal, dukun, atau sebagainya? Mereka mengaku bahwa mereka mengetahui yang gaib! Jelas ada perbedaan besar antara klaim Nabi Nuh yang benar, dan klaim para peramal (dukun) yang salah.
Bagaimana pun, pengetahuan tentang yang gaib hanya bisa muncul melalui intervensi Allah atau jin yang mencuri dengar kabar berita dari langit. Jika pengetahuan tentang hal gaib tersebut lahir dari intervensi Allah, pengetahuan ini layak diterima para nabi, sekaligus hanya terbatas yang dibutuhkan oleh nabi tersebut. Sejenak kita kembali kepada kisah Nabi Adam. Nabi Adam tahu bahwa ia akan menjadi khalifah bumi. Akan tetapi, pengetahuannya terbatas pada hal itu saja. Nabi Adam bahkan tidak tahu bahwa Iblis menipunya memakan buah “khuldi” meskipun Allah sudah menyiratkan akan datangnya godaan setan (Iblis).
Bagaimana dengan peramal yang mengklaim bahwa mereka mengetahui yang gaib? Pengetahuan mereka datang dari jin, yang mencuri dengar berita langit sebagaimana yang dilukiskan dalam Q.S. 72:8—9, “dan sesungguhnya kami (jin) telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api,” (8), “dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit untuk mencuri dengar (berita-beritanya). Tetapi sekarang barangsiapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).” (9).
Kita tidak perlu terpukau atau mempermasalahkan panah api yang kemudian ditafsirkan sebagai meteor atau komet. Yang kita perhatikan adalah ketatnya penjagaan terhadap pengetahuan yang gaib di langit. Oleh karena itu, jin yang ada di sekitarnya, yang berusaha mencuri dengar, terus menerus dihalau dari pengetahuan tersebut. Artinya, pengetahuan jin tersebut tidak lengkap, hanya sepotong, atau malah tertangkap bagian depan sedangkan bagian yang paling penting tidak diketahui. Informasi yang rumpang semacam inilah yang diterima para peramal dan dukun. Itupun ditambah-tambahi lagi oleh peramal dan dukun sehingga terkesan mengagumkan orang-orang yang tidak berpikir.
Kembali pada konteks pengetahuan Nabi Nuh yang mutlak berasal dari Allah, nabi Nuh juga tidak mengatakan kepada kaumnya bahwa ia adalah malaikat atau apa pun, seperti dalam Q.S. 11:29, “dan tidak (pula) aku mengatakan: “Bahwa sesungguhnya aku adalah malaikat”. Ucapan ini sebenarnya menjadi sindiran paling telak kepada para pemimpin kaum Nabi Nuh. Para pemimpin tersebut mengira bahwa tanda Allah melindungi Nabi Nuh adalah dengan didatangkannya malaikat. Akan tetapi, Nabi Nuh menegaskan bahwa ia bukan malaikat, ia manusia biasa yang ditugaskan memberi peringatan.
Malaikat identik dengan kesucian karena mereka tercipta dari cahaya. Nabi Nuh tidak menganggap dirinya suci. Bahkan orang-orang yang berpihak kepadanya adalah orang-orang yang dihinakan kaumnya. Sebaliknya, para pemimpin kaum nabi Nuhlah yang mengangkat diri sebagai malaikat, sosok suci yang tidak mungkin salah meskipun sebenarnya para pemimpin kaum tersebut sangat salah. Merekalah yang sok suci, merasa paling benar. Kasus para pemimpin Kaum Nabi Nuh ini sama dengan kasus Iblis yang berkata kepada Allah, “Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? ….” (Q.S. 17:62). Maka, orang-orang yang merasa paling suci hanya karena mereka keturunan Nabi, atau karena berbuat baik, perlu memperhatikan ucapan Nabi Nuh yang memilih bersikap rendah hati. Di balik kebanggaan terhadap klaim, biasanya terdapat kesalahan berupa penghambaan terhadap kebanggaan tersebut.
Meskipun sudah diberitahu demikian, dan meski sudah diberi pengertian tentang keadaan mereka yang menganggap diri paling benar, padahal salah, para pemimpin tersebut justru meminta Nabi Nuh untuk mendatangkan malapetaka besar berupa banjir bandang tersebut, seperti yang ada dalam Q.S. 11:30, “Mereka berkata “Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.”.
Pada tahap inilah Nabi Nuh menangis dan mengadu pada Allah. Pengaduan Nabi Nuh ini tersebar dalam beberapa surat. Dalam Q.S. 71:21--22, Nabi Nuh berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku. Mereka juga telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka. Mereka juga melakukan tipu-daya yang amat besar (dengan menganjurkan orang-orang untuk tetap menyembah berhala, dewa-dewa yang dianggap menguasai beberapa bagian dalam alam semesta).”. Dalam kesedihan tersebut, Nabi Nuh juga berkata, karena kaumnya tidak hanya sesat, tetapi juga menyesatkan orang lain (anak, istri, saudara yang terikat hubungan keluarga dengan mereka), maka Nabi Nuh meminta agar Allah menambah kesesatan mereka, “dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan”. (Q.S. 71:24).
Dalam Q.S. 71:5—7, keluh kesah Nabi Nuh tersebut tercatat lebih jelas. Nuh berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, (5) Seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). (6) Sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. (7). Kita bisa melihat betapa beratnya tugas yang dibebankan kepada Nabi Nuh dalam ratusan tahun. Pengikut Nabi Nuh jumlahnya sedikit dan terdiri dari orang-orang lemah. Pengikut tersebut juga mendapat kecaman dan cemoohan seperti yang diterima Nabi Nuh. Kita bisa membayangkan, bahwa berulang kali Nabi Nuh mengisyaratkan datangnya banjir, tapi karena panjangnya waktu dan tidak terjadi apa-apa, kaum Nabi Nuh yang sesat justru semakin bebal. Mereka semakin menuntut bukti tentang kebenaran ucapan Nabi Nuh. Ucapan Nabi Nuh, dibandingkan dengan pemujaan mereka terhadap berhala, ternyata lebih lambat terbukti. Oleh karena itu, kita patut berhati-hati jika kemudian kita juga terjebak seperti kaum Nabi Nuh. Hanya karena sudah 1400 tahun setelah Nabi Muhammad saw. meninggal dan kiamat belum terjadi, bisa saja kita akan bernasib sama seperti kaum Nabi Nuh. Kita lalai dan bisa jadi kiamat terjadi di generasi kita.
Doa yang paling penting adalah doa Nabi Nuh pada Q.S. 23:26, “Ya Tuhanku, tolonglah aku karena mereka mendustakan aku”. Tak selang lama setelah doa ini, turunlah perintah Allah agar Nabi Nuh membuat perahu (bahtera). Kita dapat melihatnya dalam Q.S. 23:27, “Lalu Kami wahyukan kepadanya: “Buatlah bahtera di bawah penilikan dan petunjuk Kami, maka apabila perintah Kami telah datang dan tanur telah memancarkan air, maka masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari tiap-tiap (jenis), dan (juga) keluargamu, kecuali orang yang telah lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa azab) di antara mereka. Dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim, karena sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan”. Ayat yang senada adalah Q.S. 11:37, “Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan”. Perhatikanlah bahwa dalam kedua ayat ini Allah tidak menggunakan kata ganti “Kami” seperti lumrahnya, tetapi menggunakan kata “Aku”, menunjukkan bahwa otoritas tertinggi dalam perintah ini semata-mata hanyalah Allah Yang Satu. Dalam kedua ayat ini, Allah juga menjamin bahwa orang-orang yang tidak mendengar seruan Nabi Nuh akan ditenggelamkan.
Yang menarik, keadaan alam menjelang banjir besar tersebut berbanding terbalik dengan ucapan Nabi Nuh. Tanah kering dan tidak ada tanda-tanda air meluap. Saat itulah Nabi Nuh membuat bahtera sesuai dengan petunjuk Allah; bahtera yang mampu menampung hewan-hewan ternak kaumnya, hewan-hewan yang bisa dimanfaatkan ketika banjir telah reda. Wajarlah jika para pemimpin Kaum Nabi Nuh memerolok tindakan pembuatan bahtera. Untuk apa bahtera dibuat? Tanah begitu kering! Hanya keajaiban yang menyebabkan hujan deras! Di sinilah letak keistimewaan Nabi Nuh. Dalam Q.S. 11:38, dijelaskan bahwa Nabi Nuh berkata, “Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh azab yang menghinakannya dan yang akan ditimpa azab yang kekal.”. Nabi Nuh tidak langsung mengadili orang-orang yang sesat, tetapi membiarkan mereka terjebak dalam kesesatannya sendiri hingga nantinya tertimpa musibah banjir.
Tindakan mendiamkan kaumnya ini adalah tindakan terakhir Nabi Nuh. Sebelumnya, Nabi Nuh sudah memberitahu dengan terang-terangan seperti yang tercantum dalam Q.S. 71:8, “Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan”. Cara ini tidak berhasil. Nabi Nuh menggunakan alternatif kedua, menyeru dengan jalan terang-terangan bagi yang memahami, dan diam-diam ketika para pemimpin Kaumnya mulai bertindak kejam terhadap pengikutnya, seperti dalam Q.S. 71:9, “kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam”. Cara kedua juga gagal. Artinya, kebebalan kaum Nabi Nuh sudah keterlaluan. Cara terakhir tentu saja mengurusi mereka yang mau mendengar seruan Nabi Nuh saja.
Selanjutnya, ketika banjir bandang benar-benar terjadi, Kaum Nuh kalang kabut. Mereka berlarian kian-kemari, tersapu oleh banjir yang datang tiba-tiba. Nabi Nuh dan pengikutnya yang mempersiapkan diri jauh-jauh hari, tidak merasa panik. Mereka sudah siap sedia dengan keadaan ini. Nabi Nuh berkata kepada kaumnya, “Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya” (Q.S. 11:41). Perhatikanlah bahwa ucapan “Bismillah” (Dengan nama Allah) sudah ada sejak zaman Nabi Nuh. Perhatikan pula bahwa yang dimaksud dengan Islam, agama Tauhid, adalah agama yang menyembah Tuhan Yang Satu, bukan semata-mata Islam yang kita pegang saat ini. Islam yang diajarkan Nabi Muhammad saw. adalah lanjutan agama-agama terdahulu. Bukan berarti nabi-nabi terdahulu mengerjakan syariat Islam yang sama seperti syariat Islam saat ini. Yang terpenting adalah adanya garis lurus tentang pemahaman tentang Tuhan yang Satu sejak agama terdahulu hingga Nabi Muhammad saw.
Satu hal yang tidak tercatat dalam Perjanjian Lama adalah terpisahnya Kanaan, salah satu anak Nabi Nuh dari bahtera. Ketika bahtera mulai berlayar, Nabi Nuh melihat Kanaan yang berada di tempat yang jauh. Nabi Nuh, karena kedekatan hubungan darah, menyeru anaknya, yang sebenarnya termasuk dalam golongan sesat. Seruan ini tercantum dalam Q.S. 11:42, “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir”. Saat itulah Kanaan menjawab, “aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!”. Kanaan tetap saja bebal karena ia melihat bahwa banjir belum terlalu besar. Ia yakin bahwa gunung akan menyelamatkannya. Ia merasa bahwa bukan hanya Nabi Nuh yang selamat. Dalam keadaan yang terdesak, Kanaan mengira bahwa alam masih bisa menyelamatkannya. Dalam keadaan bahwa ucapan Nabi Nuh terbukti, Kanaan masih mengira ada jalur lain yang bisa digunakan selain jalur yang benar! Oleh karena melihat penderitaan anaknya yang sedemikian rupa, Nabi Nuh berkata, “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang.” (Q.S. 11:43). Ketika bencana datang, hanya orang-orang yang berada di jalan yang luruslah yang selamat!
Setelah 40 hari 40 malam, banjir pun berhenti dan perahu Nabi Nuh terdampar di bukit Juddi. Dalam keadaan kaumnya yang sudah binasa karena kelakuan mereka sendiri, Nabi Nuh masih bersedih dengan kematian Kanaan. Ia pun menyeru kepada Allah, sedikit mempertanyakan keputusan Allah tidak menyertakan Kanaan sebagai orang-orang yang diselamatkan. Nabi Nuh berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.” (Q.S. 11:45).
Untuk menenangkan hati Nabi Nuh, Allah berfirman dalam Q.S. 11:46, “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.”
Teguran Allah ini membuat Nabi Nuh tersadar. Seperti halnya gigi berlubang yang harus dicabut agar kita tidak menderita sakit gigi berlebihan, demikianlah yang terjadi pada Kanaan. Meskipun gigi berlubang tersebut adalah anggota tubuh, tapi anggota tubuh tersebut harus disingkirkan agar segala sesuatu kembali ke dalam aturan semestinya. Lagipula, Nabi Nuh menyadari, ia sendiri yang berdoa agar semua orang yang sesat di kaumnya dimusnahkan Allah. Doa ini tercantum dalam Q.S. 71:27—28, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” (27) “Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.” (28).
Saat menerima teguran dari Allah itulah Nuh menyadari bahwa Allah lebih mengetahui segala sesuatu.
Kanaan adalah salah seorang yang kemungkinan akan menciptakan keturunan yang sesat pula. Bukankah ketika keadaan genting, Kanaan yang mendapat hak istimewa diperingatkan Nabi Nuh, justru tidak memanfaatkan hak istimewa tersebut? Kanaan memilih caranya sendiri yang bertentangan dengan cara Nuh, ayahnya sendiri padahal Nuh adalah sang pemberi peringatan. Saat itulah Nabi Nuh menyadari, bahwa ia salah jika berharap Kanaan diselamatkan. Seperti halnya pedang yang memusnahkan siapa pun yang berani melawan sang pemilik pedang, demikian pula takdir Allah. Oleh karena itu, Nabi Nuh berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakikat)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. 11:47)
Komentar
Posting Komentar