Kisah Para Nabi: Kisah Nabi Nuh dalam Perjanjian Lama
Dalam kisah para nabi kali ini, kita akan membahas kisah Nabi Nuh dalam kitab Perjanjian Lama. Kisah ini terdapat dalam bab Kejadian (Genesis). Nuh sendiri adalah keturunan Adam, dari jalur Seth (putra selain Habil/ Abel dan Qabil/ Cain). Jalurnya adalah Adam- Seth - Enos - Kenan - Mahalaleel - Jared - Enoch - Methuselah - Lamech - Nuh. Dari Nuh ini terlahir tiga bersaudara, yaitu Shem, Ham, dan Japheth.
Kaum Nabi Nuh adalah salah satu kaum yang paling dikenal dalam sejarah. Bagaimana tidak? Kisah banjir yang menimpa kaum tersebut tersebar di mana-mana dalam ragam versi yang berbeda. Ada penelitian yang menyatakan kemungkinan besar, banjir tersebut terjadi pada akhir zaman es, meski artinya Nabi Nuh hidup sekitar 6.000 hingga 11.000 tahun yang lalu.
Ada pula yang menyebutkan bahwa perahu Nabi Nuh membatu di Gunung Ararat, sebuah tempat yang saat ini rawan konflik karena di sanalah pemberontak Kurdi bersembunyi sekaligus bertempur melawan tentara Turki, meskipun kebenaran pendapat tentang posisi perahu Nuh tersebut sangat diragukan. Terlepas dari konteks sejarah dan pendapat di atas, kisah sebuah kaum dalam Alquran selalu menjadi pengajaran bagi kita. Jadi, kita tidak hanya wajib memelajari sejarah atau kisah sebuah kaum secara harafiah, tetapi juga mencari makna atau simbol yang digunakan dalam kisah tersebut.
Kisah Nabi Nuh dalam Perjanjian Lama
Kisah Nabi Nuh dalam Perjanjian Lama, yang berkaitan dengan banjir besar, diawali dari kegelisahan Tuhan terhadap ulah manusia. Bagi Tuhan, semua manusia cenderung membuahkan kejahatan semata-mata (Kejadian, 6:5). Oleh karena perilaku inilah Tuhan menyesal telah menciptakan manusia. Bahkan, Tuhan berfirman, “Aku akan menghapuskan makhluk yang telah Kuciptakan dari muka bumi, mulai dari manusia, hewan dan binatang-binatang melata dan burung-burung di udara, sebab Aku menyesal telah menjadikan mereka.” (Kejadian, 6:7). Oleh karena penyesalan Tuhan inilah terjadi banjir besar untuk memusnahkan semua manusia dan binatang.
Akan tetapi, Nuh mendapatkan kasih sayang Tuhan. Oleh karena kasih sayang Tuhan inilah Tuhan berfirman khusus kepada Nuh saja tentang rencana penghapusan seluruh makhluk hdup. Dalam Kejadian, 6:13, berfirmanlah Allah kepada Nuh: “Aku telah memutuskan untuk mengakhiri hidup segala makhluk, sebab bumi telah penuh dengan kekerasan oleh mereka”. Sebagai bukti kasih sayang Allah, Nuh diberi petunjuk untuk membuat bahtera. Nuh harus membuat bahtera tersebut dari kayu gofir. Bentuk bahtera tersebut harus berpetak-petak. Bahkan secara terperinci, Tuhan menyebutkan bahwa bahtera tersebut harus “tiga ratus hasta panjangnya, lima puluh hasta lebarnya dan tiga puluh hasta tingginya” (Kejadian, 6:15). Rincian Tuhan semakin lengkap dengan pertanyaan-pernyataan berikutnya dalam Kejadian, 6:16, “Buatlah atap pada bahtera itu dan selesaikanlah bahtera itu sampai sehasta dari atas, dan pasanglah pintunya pada lambungnya; buatlah bahtera itu bertingkat bawah, tengah dan atas” (16).
Dalam Perjanjian Lama, banjir besar dalam kisah Nabi Nuh dialami seluruh dunia. Oleh karena itu, Tuhan memutuskan agar Nuh membawa sepasang demi sepasang makhluk hidup. Tidak hanya binatang ternak, tetapi juga binatang melata dan burung agar binatang-binatang tersebut dapat hidup, tidak lenyap pasca banjir. Lebih detail lagi, binatang yang halal (binatang ternak) harus dibawa dengan jumlah tujuh pasang sedangkan yang haram, hanya sepasang seperti dalam Kejadian 7:2--3, “Dari segala binatang yang tidak haram haruslah kauambil tujuh pasang, jantan dan betinanya, tetapi dari binatang yang haram satu pasang, jantan dan betinanya;” (2) “juga dari burung-burung di udara tujuh pasang, jantan dan betina, supaya terpelihara hidup keturunannya di seluruh bumi”. (3)
Ketika umur Nuh enam ratus tahun, pada bulan yang kedua, pada hari ke-17, terbukalah semua mata air, meluaplah samudera, dan turunlah hujan lebat selama 40 hari 40 malam (Kejadian, 7:11—12). Barulah pada hari ke-150 air mulai surut. Artinya, banjir tersebut terjadi selama lima bulan. Selanjutnya, bahtera Nuh kandas pada gunung Ararat pada bulan ketujuh, yang sekarang dibuat heboh dengan penemuan batu yang mirip perahu Nabi Nuh. Banjir terus-menerus surut hingga pada bulan ke-10, tanggal 1, tampaklah puncak-puncak gunung. Artinya, gunung Ararat adalah gunung tertinggi saat itu. Selanjutnya, Nabi Nuh mulai melakukan percobaan melepas burung, mulai dari gagak hingga merpati untuk mencari daratan yang kering.
Hampir setahun sejak banjir dimulai, pada tahun keenamratus satu dalam hidup Nuh, pada tanggal 1 bulan 1, air sudah kering. Selanjutnya, 57 hari kemudian, air benar-benar kembali ke tempat semula. Kita bisa melihat bahwa banjir hampir terjadi secara total hingga sepuluh bulan, tanda bahwa banjir ini tidak hanya melanda satu kawasan, tetapi seluruh dunia.
Yang menarik, kisah Nuh dalam Perjanjian Lama cenderung lebih berupa “fakta sejarah” daripada kisah hikmah. Sepanjang pengisahan, kita hanya menemukan detail kejadian. Oleh karena itu, Alquran merevisi kisah tersebut dengan mengungkap hikmah-hikmah yang ada di dalamnya. Selain itu, dalam Perjanjian Lama, banjir Nuh terlahir karena kekecewaan Tuhan pada ciptaannya sendiri. Tuhan ingin memusnahkan manusia dan binatang yang hanya bisa menciptakan kekacauan.
Dalam Alquran, kisah ini direvisi ulang. Banjir pada Kaum Nuh adalah banjir regional (setempat) yang terjadi karena kebebalan manusia. Tuhan sama sekali tidak kecewa pada manusia atas pengingkaran terhadap-Nya. Fungsi banjir adalah semata sebagai pengajaran bagi kaum-kaum berikutnya. Dalam Alquran, Tuhan tidak pernah kecewa terhadap keputusannya menciptakan manusia dan hewan.
Komentar
Posting Komentar