Kata Mutiara Tentang Rasulullah: Cara Mengasuh Anak, Menghindari Kekerasan
Dalam seri kata mutiara tentang Rasulullah ini, kita akan membahas kisah-kisah kelembutan Nabi kepada anak kecil. Kisah-kisah ini juga dapat dibaca dalam buku Selembut Hati Rasulullah karya Fitra Firdaus Aden (penerbit Citra Risalah, cetakan 2014).
*******
Menghindari Kekerasan dalam Menasehati
Saudaraku, tentu kita pernah merasakan nikmatnya masa kecil. Penasaran dengan segala sesuatu, kadang kita menjadi penentang orang tua. Jika disebutkan oleh ayah, tidak boleh mendaki bukit sendirian, kita akan melakukannya. Jika oleh imam masjid, kita dilarang menyalakan petasan saat salat tarawih, kita justru bersenang-senang berbuat demikian sambil bersembunyi menanti kemarahan imam masjid. Keingintahuan yang besar adalah hal lumrah bagi seorang anak. Justru karena itulah anak mengembangkan semua kemampuannya. Ia lebih kreatif dalam bertindak, dan tidak hanya bertopang dagu.
Meskipun demikian, sebagai orang yang lebih tua, tentu kita pernah merasa kesal dengan tingkah laku anak yang terlalu 'usil'. Semisal, seorang guru yang menegur siswa SD dengan keras karena mereka bercakap-cakap sendiri. Kejadian guru melempar penghapus atau kapur tulis kepada anak, adalah hal yang biasa terjadi hingga beberapa waktu lalu. Mungkin pula, seorang tetangga membentak anak kecil yang malam-malam mencuri rambutan. Padahal, rambutan itu masih hijau; dan kelak ketika sudah matang, anak-anak itu akan mendapatkan bagian. Tapi, mereka seakan tidak sabar. Lebih suka memetik buah yang masih mentah, karena ada sensasi tersendiri.
Sahabat, bahkan Islam mengatur seseorang yang menasehati anak kecil. Jangan sampai tindakannya menasehati itu melampaui batas. Kadang, inilah yang terjadi. Melihat ada anak nakal di sekitar, mungki saja emosi kita sudah sampai di ubun-ubun. Tidak hanya membentak, tangan atau kaki pun ikut bergerak.
Hal yang demikian tidak diperkenankan dalam Islam. Seseorang hendaknya senantiasa mampu mengendalikan diri dalam situasi apa pun. Jangan sampai emosinya meledak-ledak mengalahkan yang lain. Tentulah kita masih mengingat kisah Abu Mas'ud yang mencambuk budaknya dengan kemarahan buta. Nabi menegurnya dengan menyebut, Allah bisa-bisa saja membalas yang lebih berkali lipat daripada kesakitan sang budak.
Rasulullah saw. juga mengatakan, “Bukanlah orang yang kuat itu (diukur) dengan (kekuatan) bergulat, tetapi orang yang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah." Seseorang yang gagal mengendalikan diri kala marah, hanya akan melahirkan kerugian bagi dirinya sendiri.
Pertama, dia akan dijauhi orang-orang di sekeliling yang takut akan kelakuannya. Kedua, dalam konteks kemarahan itu dilampiaskan pada anak kecil, tentulah orang ini sudah berbuat zalim pada seseorang.
Pernah Ummu Khalid binti Khalid diajak sang ayah untuk menghadap Nabi. Kala itu, sang gadis kecil mengenakan gamis berwarna kuning. Sebagai anak kecil, ia mudah penasaran dengan banyak hal unik, tak terkecuali cincin Rasulullah. Jadilah Ummu Khalid bermain-main dengan cincin itu.
Sang ayah yang mengira tindakan itu tidak sopan, menegur Ummu Kholid dengan keras; membentaknya. Namun, Nabi justru sebaliknya. Beliau berkata, “Biarkan saja dia begini. Bermainlah sepuas hatimu, Nak.”
Lalu, bagaimana cara menasehati yang benar? Tidak bolehkah kita bersikap tegas pada anak-anak nakal di kampung yang mungkin keberadaannya sudah cukup mengganggu? Jawaban yang pertama dan utama, kita tetap menasehati dalam koridor kesantunan tadi.
Nabi Muhammad saw. bukan tidak pernah berhadapan dengan kondisi demikian. Ada seorang anak yang datang ke sebuah perjamuan. Namanya juga anak-anak, ia ingin menjajal semua makanan yang tersaji. Rasul menegurnya dengan halus, “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah sebelum makan. Makanlah dengan tangan kananmu. Santaplah (makanan) yang ada di hadapanmu."
Menyaksikan anak yang belum mengerti sopan santun, Rasulullah tidak langsung menggertaknya walau sang anak bertindak salah. Beliau memilih untuk menasehati dengan hati-hati. Bahkan, Nabi mengajarkan tata cara makan secara bertahap. Yang pertama, berdoa. Kedua, menggunakan tangan kanan, dan bukan tangan kiri. Dan yang terakhir, menyantap makanan yang ada di hadapan terlebih dahulu. Anak paling nakal sekalipun, tentu akan mudah mencerna nasehat ini; untuk kemudian menerapkannya.
Kadang, Nabi pun mengajak seorang anak berdiskusi tentang apa yang harus dan tidak harus dilakukan. Sebagai contoh, Rasul pernah bersama seorang anak kecil dalam perjamuan minum. Ketika itu, sang bocah ada di sisi kanan Nabi. Sementara di sisi kiri beliau, ada Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan sahabat-sahabat yang lain. Tentulah jika menganut adab kesopanan, semestinya Abu Bakar yang terlebih dahulu memperoleh hak. Namun, Nabi memilih untuk bertanya kepada anak itu, "Nak, bolehkah kuberikan air ini kepada yang lebih tua lebih dahulu?"
Sang anak menolak dan berkata, "Saya mau mendapatkan air lebih dulu." Rasulullah tersenyum melihat tingkah sang anak, dan tetap menuangkan air kepadanya terlebih dahulu. Memang, dalam Islam, dianjurkan untuk memberikan air kepada yang duduk di sebelah kanan daripada yang sebelah kiri. Dan, sikap Nabi ini semakin menegaskan sabda beliau agar semua muslim menyayangi orang yang lebih muda.
Lantas, bagaimana jika kita menghadapi anak nakal yang sudah tidak bisa ditanggulangi lagi? Apakah kita tidak boleh memberikah hukuman fisik untuk membuatnya jera? Jawabannya, boleh. Namun, anak yang diberi hukuman fisik itu adalah anak yang sudah cukup umur, sekitar berusia 10 tahun.
Kalaupun hendak memukul, ada tiga kriteria . Yang pertama, jangan sampai dalam keadaan marah yang sangat karena dikhawatirkan hukuman tersebut akan berlebihan. Yang kedua, jangan sampai memukul terlalu keras yang menyebabkan bekas atau cacat pada tubuh anak. Dan yang terakhir, seseorang dilarang memukul anak pada bagian kepala. Nabi bersabda, "Jika salah seorang dari kalian memukul, maka hendaknya hindari memukul wajah.” Ingatlah, ketika memberi hukuman fisik, fokus tetap pada upaya mendidik dan meluruskan mereka.
Dan Sahabat, alangkah lebih baiknya jika yang melakukan hukuman fisik demikian, adalah orang tua sang anak. Pada masa sekarang, memukul atau 'memberi pelajaran' kepada anak kecil bisa berbuntut panjang jika yang melakukannya bukan keluarga. Lebih baik, jika kita merasa tak mampu menasehati anak kecil di sekitar yang sudah cukup mengganggu, katakan kepada sang ayah atau ibu; sehingga mereka bisa mengurusnya.
Saudaraku, setiap kelembutan tentulah menyimpan kebaikan hati. Demikian pula sikap lembut yang ditunjukkan Rasulullah saw. kepada anak kecil. Semua tindakan beliau bertujuan untuk mendidik anak sehingga pada waktunya nanti, anak-anak tersebut matang. Tidak hanya matang untuk benar-benar menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari; bukan sepotong-sepotong. Tetapi juga, matang untuk kebaikan tanpa mengharapkan balas jasa seperti yang dilakukan oleh Rasulullah.
Dengan demikian, ia akan menjadi inspirasi bagi orang lain di sekeliling, seperti yang disampaikan Luqman Hakim kepada anaknya dalam Q.S. Luqman:17, “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah.”
Kisah-kisah kelembutan hati Nabi Muhammad saw. kepada anak kecil dapat dibaca di bagian-bagian di bawah ini. Kisah-kisah kelembutan hati Nabi Muhammad saw. kepada anak kecil dapat dibaca di bagian-bagian di bawah ini.
Bagian Pertama: Mengajarkan Kepekaan dan Menjauhkan Kezaliman
Bagian Kedua: Mengajarkan Agama Sejak Dini
Bagian Ketiga: Menghindari Kekerasan dalam Menasehati
Komentar
Posting Komentar