Kata Mutiara Tentang Rasulullah: Kisah Nabi Mengajarkan Kepekaan Untuk Anak Kecil
Dalam seri kata mutiara tentang Rasulullah ini, kita akan membahas kisah-kisah kelembutan Nabi kepada anak kecil. Kisah-kisah ini juga dapat dibaca dalam buku Selembut Hati Rasulullah karya Fitra Firdaus Aden (penerbit Citra Risalah, cetakan 2014).
********
Mengajarkan Kepekaan dan Menjauhkan Kezaliman
Mengajarkan Kepekaan dan Menjauhkan Kezaliman
Sahabat, anak kecil yang sedang berkembang, senantiasa melihat lingkungannya untuk dijadikan contoh. Tidak hanya mengacu pada orang tua, ia juga akan meniru sikap orang-orang di sekitarnya yang menurutnya menarik. Maka, tidak ada yang lebih baik daripada mengajarkan kepekaan sejak dini; menularkan kasih sayang yang tulus, sekaligus menjauhkannya dari sifat-sifat jahat seperti mendendam, mudah iri, dan sebagainya.
Rasulullah saw. yang demikian agung, dikenal sebagai sosok yang peka. Beliau mudah tidak tega menyaksikan penderitaan orang lain. Apalagi jika yang mengalaminya adalah anak kecil. Pernah, suatu ketika Rasulullah sedang memimpin salat berjamaah. Kemudian beliau mendengarkan tangis bayi.
Sebagai seorang imam, Nabi berkeinginan untuk memanjangkan salat demi mendekatkan diri kepada Allah. Namun, ada masalah yang lebih urgen, yaitu bayi yang membutuhkan kehangatan sang ibu. Alhasil, Nabi kemudian memperpendek salat (mempercepatnya). Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku memulai sholat dan aku ingin memanjangkannya, namun aku mengurungkannya ketika aku mendengar tangis seorang bayi, karena kasihan terhadap ibunya.”
Dalam kasus lain, Rasulullah beberapa kali dilaporkan bersikap sangat lembut kepada anak-anak kecil yang bermain di sekitar keluarganya yang tengah mengerjakan salat. Adalah hal lazim, bocah seusia demikian, belum memahami pentingnya salat. Yang mereka saksikan, adalah keunikan. Ada sekian orang tua yang berdiri, kemudian bersujud dengan pola gerakan tertentu. Wajar jika kemudian mereka mengira hal tersebut juga sebagai bentuk permainan.
Ketika kita menjadi imam salat dalam keadaan tersebut, tak perlu menghardik atau berbuat kasar kepada anak. Rasulullah tak pernah bertindak demikian. Sebaliknya, beliau menggendong anak kecil atau membiarkan mereka bermain barang sejenak-dua jenak.
Nabi pernah menunaikan salat sambil menggendong Umamah binti Zainab, cucu beliau. Ketika sujud, beliau meletakkan Umamah di samping, dan ketika berdiri beliau menggendongnya.
Pada lain kesempatan, Rasulullah saw. tengah bersujud. Hasan dan Husein, kedua cucu beliau, melihat ini sebagai hal lucu. Oleh karenanya, ia menaiki punggung Nabi dan memukuli tubuh sang kakek layaknya sedang memacu kuda. Nabi tidak marah, beliau justru memperpanjang sujud hingga Hasan puas bermain kuda-kudaan.
Ketika Hasan turun, Nabi hendak bangkit. Namun, Husein ternyata ingin meniru sang kakak. Ia melompat ke punggung Nabi dan melakukan tindakan serupa. Lagi-lagi, Rasulullah tidak marah atau membentak sang cucu untuk turun. Beliau memahami benar tingkah anak yang usil, dan memilih untuk menunggu Husein turun dari punggung.
Lain waktu, Rasulullah saw. mendatangi rumah Asma’ binti Umeis untuk mengabarkan berita duka . Sang suami, Ja’far bin Abi Thalib telah gugur di medan laga. Apa yang harus beliau katakan? Di depan rumah, tampak anak-anak Ja’far berlarian riang tak mengerti; menyambut beliau penuh suka cita. Rasulullah tak kuasa lagi menahan haru. Dipanggilnya satu demi satu putra-putri Ja’far. Diciuminya mereka hingga air mata terjatuh.
Asma’ yang menyadari ada sesuatu yang berbeda dari Nabi, mendekati beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah telah sampai kepadamu berita tentang Ja’far?”
Beliau menjawab, “Sudah … dia gugur hari ini.”
Keriangan itu mendadak lenyap. Asma’ dan anak-anaknya menangis tersedu. Kabar pahit itu terdengar juga. Rasulullah telah berusaha menyampaikan kabar itu dengan bahasa terbaik, dan cara sesantun mungkin. Memang, seseorang yang berjihad di jalan Allah pasti akan masuk surga. Namun, sekuat apa pun orang yang ditinggalkan, kesedihan pasti tertumpah.
Kemudian, Nabi berpesan kepada para sahabat yang lain, “Buatkanlah makanan bagi keluarga Ja’far. Sesungguhnya, telah datang berita musibah yang memberatkan mereka.” (H.R. Ibnu Majah).
Sahabat, tidak ada jalan lain untuk mengajarkan ketulusan kepada anak, kecuali dengan praktik langsung seperti yang dicontohkan oleh Nabi. Seseorang yang terbiasa berbuat culas atau mementingkan diri sendiri, tak akan pernah menjadi contoh yang baik untuk anak-anak. Mungkin ia akan tetap mengajarkan perbuatan mulia di depan anak-anak. Namun, andai hal ini tak diiringi oleh hati yang tulus, ia ibarat sedang mengisi kendi yang bocor; melakukan hal yang tak berguna.
Anak yang polos, bisa memahami mana orang yang benar-benar mencintainya dan mana yang berpura-pura. Hati mereka yang bersih, akan senantiasa berkontak dengan hati orang dewasa yang bersih pula. Sebaliknya, bayangkan jika hati-hati sebening kaca ini sering berkontak dengan hati kotor yang penuh keserakahan duniawi. Lambat laun, anak-anak akan tertular oleh kebusukan orang dewasa.
Sahabat bayangkan saja jika sejak awal Nabi Muhammad saw. langsung bertindak tanpa kepedulian. Memarahi Hasan dan Husein yang usil main kuda-kudaan atau tak menyampaikan kabar duka meninggalnya Ja’far bin Abi Thalib. Anak-anak itu mungkin saja trauma, bahkan kemudian berhati batu. Mereka menyaksikan kekejaman dunia; lantas berkesimpulan, untuk memerangi kekejaman tadi, satu-satunya jalan adalah bersikap lebih kejam lagi.
Demi mengajarkan kepekaan ini, Rasulullah saw. tidak segan untuk mengucapkan salam kepada anak-anak kecil. Alhasil, Anas bin Malik, pembantu beliau, mencontoh perbuatan tersebut. Ia melihat perbuatan Nabi tersebut ‘keren’ sehingga menirunya.
Rasul pun suka bercanda dengan anak-anak. Beliau menjulurkan lidah kepada Hasan bin Ali, sehingga sang cucu mengambur ke pelukan dengan riang. Ada kalanya Nabi mencipratkan air dari ember pada anak-anak yang suka bermain air seperti yang dialami Mahmud bin Ar-Rabi’ saat berusia lima tahun.
Ada pula sebuah kejadian unik, ketika seorang anak dibawa ke hadapan Rasulullah. Karena masih kecil, ia mengompol dan pipisnya membekas di pakaian Nabi. Rasul tidak memarahinya atau orang tua sang anak. Beliau hanya meminta air, lalu memercikkannya pada bagian pakaian yang terkena kencing anak tadi tanpa mencucinya. Dalam aturan Islam, “Air kencing bayi perempuan dicuci, sedangkan air kencing bayi laki-laki cukup disiram.” (H.R. Abu Dawud).
Dengan memperlihatkan ketulusan, permaafan pada kesalahan anak kecil yang tidak disengaja, dan bercanda dengan bocah-bocah yang dalam pikirannya hanya ingin bermain, Rasulullah mengajarkan kepekaan melalui praktik langsung. Anak-anak pun bagai tidak perlu diberitahu melalui lisan, bagaimana harus bersikap, bagaimana harus mencintai orang lain. Karena, contoh nyata cinta tanpa syarat, ada di depan mata mereka.
Kisah-kisah kelembutan hati Nabi Muhammad saw. kepada anak kecil dapat dibaca di bagian-bagian di bawah ini.
Bagian Pertama: Mengajarkan Kepekaan dan Menjauhkan Kezaliman
Bagian Kedua: Mengajarkan Agama Sejak Dini
Bagian Ketiga: Menghindari Kekerasan dalam Menasehati
Komentar
Posting Komentar